Kemampuan Koneksi Matematis
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang topik satu dengan topik
lainnya saling berkaitan satu sama lain. Jika semua topik dapat
dipahami,ternyata kita juga dapat mengaitkan topik-topik dalam matematika
dengan dunia nyata.
Koneksi berasal dari kata connection dalam bahasa inggris yang
diartikan sebagai hubungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia koneksi
diartikan sebagai hubungan yang dapat melancarkan segala urusan atau kegiatan.
Sedangkan koneksi dalam aktivitas belajar matematika yaitu ketika siswa dapat menghubungkan suatu gagasan atau pemikiran
matematis dengan gagasan matematis lainnya.
Koneksi matematis (mathematical connection) merupakan salah satu
dari lima kemampuan standar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika
yang ditetapkan dalam NCTM (Fitirianingsih, 2013: 8) yaitu kemampuan pemecahan
masalah, kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi, kemampuan membuat koneksi
dan kemampuan representasi. Selain itu, koneksi matematis juga merupakan salah
satu dari lima keterampilan yang dikembangkan dalam pembelajaran matematika
tahun 1989. Lima keterampilan itu adalah sebagi berikut. communication (komunikasi
matematika), reasoning (berpikir matematis), connection (koneksi matematis), problem
solving (pemecahan masalah), understanding (pemahaman matematis)
Menurut Asep (Fitrianingsih, 2013: 148)
Ada dua tipe umum koneksi matematis menurut NCTM (Rahayu, 2012: 25),
yaitu modeling connection dan mathematical connections. Modeling
connection merupakan hubungan antara
situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata atau dalam disiplin ilmu yang
lain dengan representasi matematisnya, sedangkan mathematical connection adalah
hubungan antara dua repseresentasi yang ekuivalen, dan antara proses penyelesaian
dari masing-masing representasi. Keterangan NCTM tersebut mengindikasi bahwa
koneksi matematika terbagi tiga aspek kelompok koneksi, yaitu: aspek koneksi
antara topik matematika, aspek koneksi dengan disiplin ilmu yang lain, dan
aspek koneksi dengan dunia nyata siswa/ koneksi dengan kehidupan sehari-hari.
Coxford (Rahayu, 2012: 26) menyatakan bahwa pentingnya koneksi matematis
ditentukan pada standar NCTM. Menurut Coxford, dalam setiap level kelas,
standar tersebut menekankan agar siswa memiliki pengalaman dalam menggunakan
koneksi matematis. Coxford menambahkan bahwa siswa yang memiliki pengalaman
dalam berbagai koneksi matematik akan mampu: (1) menghubungkan konsep dan
prosedur pengetahuan, (2) menggunakan matematika dalam bidang yang lain, (3)
menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari, (4) melihat matematika
sebagai bagian yang terintegral, (5) menerapkan pola piker dan model matemtika
untuk menyelesaikan masalah dalam disiplin ilmu lain seperti kesenian,
psikologi, sain, dan bisnis, (6) menggunakan dan menghargai koneksi antar topik
matematika, (7) mengenal representasi yang ekuivalen dalam suatu konsep.
Ketujuh hal tersebut merupakan indikator kemampuan koneksi matematis
berdasarkan standar NCTM.
Menurut Sumarmo (Rahayu, 2012: 26), kemampuan koneksi matematis siswa
dapat dilihat dari indikator-indikator:
(1) mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama, (2) mengenali
hubungan prosedur matematis suatu representasi keprosedur representasi yang
ekuivalen, (3) menggunakan dan menilai keterkaitan antar topic matematika dan
keterkaitan diluar matematika, (4) menggunakan matematika dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan uraian
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa koneksi matematis siswa mencakup: (1)
koneksi antar konsep matematika, (2) koneksi matematis dengan disiplin ilmu
lain, dan (3) koneksi matematis dengan dunia nyata.
Model Pembelajaran Problem Based
Learning
Problem Based
Learning atau pembelajaran
berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai
media untuk menyampaikan materi pembelajaran. Beberapa pengertian tentang
pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning yang terdapat
dalam buku Matematika Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Matematika
SMP/MTs problem based learning sebagai berikut dalam Kemendikbud
(Wahyudi, 2014: 15).
a. Pembelajaran berbasis masalah merupakan
sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga
merangsang peserta didik untuk belajar. Kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis
masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata.
b. Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu
model pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana
belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan
dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik
pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada
peserta didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan
dengan masalah yang harus dipecahkan.
Jadi, model problem based learning ini
adalah model pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif mencari tahu
bagaimana penyelesaian masalah yng diberikan secara berkelompok. Masalah
dimunculkan di awal pembelajaran untuk memicu idea tau cara dalam penyelesaian
masalah tersebut. Masalah yang disajikan bertujuan untuk mencapai suatu konsep
matematika. Siswa dituntut untuk beraktivitas menginvestigasi, mengeksplorasi,
serta menyusun strategi bagaimana memecahkan masalah tersebut untuk
mengontruksi konsep. Lang dan Evans (Juhara, 2014: 11) mengemukakan bahwa
beberapa karakteristik pada pembelajaran problem based learning sebagai
berikut.
a. Berpusat pada siswa
b. Pembelajaran terjadi dalam kelompok kecil
c. Guru menjadi fasilitator dan pembimbing
d. Masalah merupakan fokus yang terorganisasi
dan merupakan rangsangan untuk belajar
e. Masalah merupakan suatu alat untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah
f.
Informasi
baru diperoleh melalui pembelajaran langsung sendiri.
Menurut Rumi (Juhara, 2014: 11) keunggulan
keunggulan dari problem based learning adalah (1) meningkatkan motivasi
belajar siswa melalui pengaplikasian konsep pada masalah, (2) menjadikan siswa
aktif dan belajar lebih mendalam, (3) memungkinkan siswa untuk membangun
keterampilan dalam pemecahan masalah, (4) meningkatkan pemahaman melalui dialog
dan diskusi kelompok, dan (5) menjadi pembelajar yang mandiri.
Dalam problem based learning, proses
pembelajaran dimulai dengan kegiatan mengamati. Kegiatan mengamati ini bisa
berupa fenomena/fakta, mengamati lingkungan sekitar, atau mengamati masalah
yang diberikan pada bahan ajar. Siswa kemudian diarahkan untuk memecahkan
masalah dan mengontruksi konsep. Setelah siswa selesai mengonstruksi konsep
melalui masalah, siswa dapat diberikan konsep matematika dalam bentuk
abstraknya. Hal ini agar siswa dapat menyadari bahwa masalah yang diberikan
merupakan contoh dari aplikasi konsep matematika. Berikut adalah
tahapan-tahapan model problem based learning (Juhara, 2014: 12)
Tahapan-tahapan
Model Problem Based Learning
No.
|
Fase-Fase
|
Perilaku Guru
|
1
|
Fase I
Orientasi peserta
didik pada masalah.
|
· Menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistic yang dibutuhkan.
· Memotivasi peserta didik untuk terlibat
aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih.
|
2
|
Fase II
Mengorganisasikan
peserta didik
|
Membantu peserta
didik mendefinisikan dan mengorganisasilan
tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
|
3
|
Fase III
Membimbing
penyelidikan individu dan kelompok
|
Mendorong peserta
didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
|
4
|
Fase IV
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
|
Membantu peserta
didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
model dan berbagi tugas dengan teman.
|
Siswa didorong untuk mencari informasi atau
data-data apa saja yang diperlukan dalam pemecahan masalah yang diberikan,
sehingga siswa dapat memutuskan apa yang akan ia lakukan. Ketika siswa sudah
memperoleh cara penyelesaian masalah tersebut, siswa dapat menyimpulkan apa
yang mereka peroleh berdasarkan aktivitas mereka sebelumnya. Masing-masing
kelompok akan mempresentasikan hasil temuan mereka dan membandingkan dengan
kelompok lainnya.
Hubungan Model pembelajaran Problem
Based Learning dengan Kemampuan Koneksi Matematis
Problem based
learning merupakan suatu
model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah. Siswa akan
dikelompokan menjadi kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan masalah
tersebut sedangkan guru sebagai pembimbing siswa menemukan jalannya sehingga
mampu memecahkan masalah. Dalam proses pemecahan masalah inilah, siswa akan
berpikir kompleks. Mereka akan mengaitkan konsep-konsep yang sudah mereka
miliki dengan masalah tersebut juga karena siswa yang berpikir kompleks
tersebut, mereka akan berusaha juga memecahkan masalah dengan mengaitkan
masalah tersebut dengan kehidupan nyata. Sedangkan koneksi matematis itu
sendiri adalah kemampuan siswa dalam mengaitkan konsep baik itu suatu konsep
matematika dengan konsep matematika lainnya ataupun mengaitikan konsep
matematika dengan dunia nyata. Dari penjelasan ini dapat dilihat, bahwa dengan
model pembelajaran problem based learning dapat meningkatkan kemampuan
koneksi matematis siswa.
Model Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran
konvensional merupakan pembelajaran yang diterapkan berdasarkan pendekatan
tradisional. Dalam pembelajaran ini siswa belajar dengan cara mendengar dan
menonton guru yang sedang menjelaskan, kemudian guru mencoba menyelesaikan soal
dengan satu cara penyelesaian dan member siswa latihan soal.
Pembelajaran ini
pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hapalan
daripada pengertian, menekankan pada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil
daripada proses, dan pengajaran berpusat pada guru. Subiyanto (Rahayu, 2012:
28) menjelaskan bahwa kelas dengan model pembelajaran konvensional mempunyai
cirri-ciri sebagai berikut: pembelajaran secara klasikal, siswa tidak
mengetahui apa tujuan mereka belajar hari itu. Guru biasanya mengajar dan
berpedoman pada buku teks atau LKS dengan metode ceramah dan kadang-kadang
tanya jawab.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran matematika konvensional adalah
kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan dengan menggnakan metode
ceramah dengan guru mendominasi kelas, siswa hanya menerima, mendengar, dan
mencatat hal yang disampaikan guru sehingga siswa kurang aktif dalam belajar.
REFERENSI
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Fitrianingsih. (2013). Pembelajaran Matematika melalui
Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP.
Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.
Juhara, W.A. (2014). Implementasi
Pendekatan Problem Based Learning Berbanttuan 3D Sketchup untuk Meningkatkan
Kemampuan Spatial Sense Siswa SMA. Skripsi UPI. Tidak DIterbitkan.
Rahayu, H.N. (2012). Penerapan
Model Problem Based Instruction (PBI) untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi
Matematik SIswa SMP. Skripsi UPI. Tidak Diterbitkan.
Wahyudi, O. (2014). Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran
Problem Based Learning dan Project Based Learning. Skripsi UPI. Tidak
Diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar